Perburuan Cakra Pangeran Diponegoro (Episode 3)

Episode 3 : Bayangan Dari Timur

Jakarta, pukul 03.00 dini hari.

Lorong bawah tanah Istana Merdeka kembali senyap. Kotak kayu tua itu sudah tak ada. Rani dan Arda kini bersembunyi di sebuah kamar hotel kecil di daerah Cikini, jantung mereka masih berpacu cepat sejak meloloskan diri.

Tongkat Cakra kini tersimpan di koper baja kecil, terkunci tiga lapis. Arda menatapnya sambil berdiri di depan jendela, rokok kretek mengepul di tangannya.

“Arda…” Rani menyibak rambutnya yang basah setelah mandi. Ia hanya mengenakan kaus putih tipis dan celana pendek, tubuhnya yang lembap terlihat jelas oleh cahaya lampu gantung yang temaram. “Apa yang akan kau lakukan dengan itu?”

“Belum tahu,” jawab Arda. “Kita baru tahu siapa musuh kita, belum tahu siapa yang benar-benar bisa dipercaya.”

Rani mendekat perlahan, lalu memeluk punggung Arda dari belakang. Wajahnya menempel di bahu sang detektif. “Kamu tahu? Di luar semua ini, aku mulai merasa… takut kehilanganmu.”

Arda membalik tubuh, menatap wajah perempuan yang selama ini menjadi teka-teki baginya. “Kau bukan wanita biasa, Rani.”

Rani tersenyum tipis. “Aku tahu. Dan kamu juga bukan detektif biasa.”

Lalu, tanpa kata, bibir mereka bertemu. Hangat. Dalam. Penuh tekanan, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi mereka ruang—sebelum badai benar-benar datang. Kemeja Arda jatuh ke lantai. Jari Rani menggenggam lehernya. Ciuman itu berubah dari pelan menjadi lapar. Malam itu, dua jiwa yang dipenuhi rahasia akhirnya saling membuka luka dan rasa.

Namun keheningan itu tak bertahan lama.

Pukul 04.12 — suara pintu diketuk tiga kali. Kuat. Tajam. Seperti kode militer.

Arda langsung bangkit dan mengangkat pistol kecil dari bawah bantal. Rani meraih baju dan mendekat ke koper besi.

“Siapa?” tanya Arda dari balik pintu.

Sebuah suara berat menjawab, “Letkol Bram. Kami dari Bais TNI.”

Mata Arda dan Rani saling bertatapan.

**Pasukan dalam Bayangan**

Letkol Bram, tubuh tinggi dan mata tajam, masuk bersama dua anak buah berseragam hitam. Mereka tak menodong senjata, tapi aroma intimidasi memenuhi ruangan seperti kabut dingin.

“Kalian kira benda itu hanya barang antik?” kata Bram. “Itu adalah **simbol suksesi**, dan sudah terlalu banyak darah tumpah untuk menjaga agar benda itu tetap hilang.”

“Kenapa militer sekarang tiba-tiba peduli?” tanya Rani tajam.

“Karena Bung Karno tahu, satu hari nanti, pusaka itu akan muncul lagi. Dan saat itu terjadi… kekuatan akan beralih dari yang sekarang berkuasa ke yang membawa tongkat itu.”

“Jadi kalian takut?” ejek Arda.

Bram tersenyum tipis. “Kami menjaga stabilitas. Bukan takut.”

Ia menaruh sebuah kartu nama di meja. “Besok jam tiga sore. Taman Makam Kalibata. Akan ada yang menemui kalian. Kalau kalian tidak datang, kami akan ambil tongkat itu dengan cara lain.”

**Jalan Menuju Timur**

Usai pertemuan dengan militer, Arda dan Rani sepakat berpindah tempat. Tapi arah mereka bukan Kalibata. Mereka memutuskan pergi ke Timur—ke Gunung Lawu—tempat Kyai Wuryanegara dulu menetap.

Di kereta menuju Solo, Rani menunjukkan sebuah surat tua yang baru ia temukan di dalam koper:

“Jika dunia menjadi gelap, carilah cahaya dari Sang Penjaga Bayangan. Ia tak duduk di kursi kekuasaan, tapi dunia tetap tunduk padanya. Ia tinggal di balik kabut Lawu.”*

“Ini jelas mengarah ke kelompok spiritual,” kata Rani. “Kelompok yang menjaga garis keturunan Diponegoro, secara diam-diam. Mereka tidak muncul di permukaan, tapi kabarnya memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan penting… bahkan hingga era Orde Lama.”

“Orde Lama… Sukarno?” Arda menatap Rani.

Rani mengangguk. “Presiden pertama kita dulu memiliki koneksi dengan mereka. Ia bukan hanya orator hebat, tapi juga pemegang banyak rahasia leluhur. Termasuk keberadaan tongkat itu.”

**Di Balik Kabut Lawu**

Gunung Lawu, dini pagi. Kabut tebal menyelimuti jalur pendakian Cemoro Sewu. Arda dan Rani naik dengan dibantu seorang pria tua berjubah putih, yang memperkenalkan diri sebagai **Mbah Raga**.

“Tongkat itu tak bisa sembarang dibawa,” ucapnya saat mereka istirahat. “Ia terikat dengan darah, sumpah, dan pengkhianatan.”

“Kami tidak berniat menggunakannya,” kata Arda. “Kami hanya ingin tahu… siapa yang mengincar dan mengapa.”

Mbah Raga menatap Arda lama. “Maka kalian harus bertemu dengan *Tuan Bayangan*.”

**Pertemuan Tiga Kekuatan**

Di puncak gunung, di sebuah gua yang tersembunyi di balik akar besar dan tebing curam, duduk tiga orang bersila. Salah satunya mengenakan blangkon dan kacamata bundar seperti gaya tempo dulu. Di hadapannya, tongkat yang serupa dengan yang mereka bawa.

Arda dan Rani tertegun. Tongkat itu… kembar.

“Selamat datang, Arda Kusuma. Selamat datang, Rani Lesmana,” ujar pria itu. Suaranya tenang, namun menggema seperti suara air yang jatuh ke dalam sumur tua.

“Kau siapa?” tanya Rani.

“Namaku Rahadyan. Aku adalah salah satu cucu dari adik Pangeran Diponegoro. Aku bukan pemimpin politik, bukan militer, bukan pula penguasa. Tapi aku menjaga garis sejarah. Garis yang ingin dilenyapkan oleh yang haus kuasa.”

“Dan tongkat ini?” Arda menunjuk tongkat mereka.

“Itu tiruan. Tapi isinya… asli.” Rahadyan menatap dalam. “Dan kau, Arda… adalah keturunan dari prajurit yang dulu menyelamatkan pusaka itu: Tumenggung Harjo Sentiko.”

Arda tertegun.

“Sudah waktunya darah itu memilih. Dan musuh kalian bukan cuma militer. Tapi juga politisi yang ingin membangkitkan kejayaan tirani, serta kelompok asing yang mengincar tanah ini untuk kepentingan mereka sendiri.”

========

Saat mereka kembali turun dari Lawu, kabut belum juga reda. Tapi di benak Arda dan Rani, semua kini semakin jelas: perebutan tongkat Cakra bukan hanya tentang sejarah. Ini tentang masa depan bangsa. Tentang garis darah. Tentang siapa yang *berhak* memimpin.

Dan malam itu, sebelum tidur di penginapan tua di Tawangmangu, Rani berbisik pada Arda sambil menempel di dadanya.

“Aku tak tahu bagaimana semua ini akan berakhir, tapi kalau aku harus memilih satu orang yang berdiri bersamaku di tengah badai… itu kamu.”

Arda mencium keningnya pelan. “Dan aku akan berdiri di sana… sampai semuanya selesai.”

=======

=== BERSAMBUNG ===

Ocehanburung

Seorang yang sangat memperdulikan keutuhan dan harga diri bangsanya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *