Episode 2 : Jejak Di Istana
Rani menyandarkan tubuhnya ke meja kayu di perpustakaan, menatap Arda lekat-lekat.
“Kalau kau masih berpikir ini hanya soal sejarah, kau salah besar,” katanya lirih. “Tongkat itu bukan hanya lambang… tapi juga kunci untuk membuka sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang disembunyikan sejak zaman kolonial.”
Arda menyilangkan tangan. “Jangan bilang harta karun.”
Rani tersenyum miring. “Lebih dari itu. Kekuasaan. Legitimasi. Kau tahu kenapa keraton-keraton besar di Jawa tak pernah benar-benar bersatu sejak Diponegoro pergi?”
“Karena tak ada yang punya pusaka utamanya,” gumam Arda.
“Persis.”
Arda menatapnya lama, lalu duduk kembali dan membuka catatan di laptopnya. “Oke. Aku ikut. Tapi kita butuh satu hal dulu: petunjuk ke mana tongkat itu dibawa setelah diserahkan ke Van de Witte.”
Rani menatapnya sebentar, lalu menggeser tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat. “Aku sudah mendahului sedikit. Arsip Belanda memang mengklaim mereka menyimpannya di Museum Nasional Batavia… tapi tahun 1933, tongkat itu dicuri.”
“Dicuri?” Arda mengerutkan dahi. “Oleh siapa?”
“Belum jelas siapa. Tapi beberapa hari setelahnya, sebuah mobil milik *residen Belanda* meledak di Tegal. Tak ditemukan sisa tongkat itu di puing-puing.”
Arda menghembuskan napas pelan. “Berarti sudah lenyap…”
“Tidak juga.” Rani mengeluarkan satu foto lama. Hitam putih, agak buram, tapi cukup jelas menampilkan seorang pria tua berbaju adat Jawa sedang memegang tongkat dengan ujung berbentuk cakra.
“Siapa ini?” tanya Arda.
“*Kyai Wuryanegara*, mantan penasihat spiritual Presiden Soekarno.”
Arda tertegun. “Tunggu. Presiden Soekarno?”
Rani mengangguk. “Soekarno pernah percaya bahwa untuk menyatukan Nusantara, dia perlu mendapatkan restu dari leluhur, simbolis dan spiritual. Tahun 1956, menurut dokumen rahasia yang bocor, dia mengunjungi seorang kyai tua di Jawa Tengah dan menerima ‘pusaka’ untuk perlindungan negara.”
“Dan itu… Tongkat Cakra?”
“Itulah dugaannya.”
**Jejak ke Istana**
Dua hari kemudian, Arda dan Rani berdiri di depan sebuah rumah tua di daerah Menteng. Rumah itu dulu milik Kolonel Hanafiah, salah satu pengawal pribadi Soekarno di era 60-an. Sekarang dihuni cucunya, seorang jurnalis independen bernama **Dimas Hanafiah**.
Dimas menyambut mereka dengan ramah, tapi wajahnya waspada.
“Kalian mau apa?” tanyanya saat mereka duduk di ruang tamu yang penuh buku dan arsip tua.
“Kami mencari informasi soal pertemuan Presiden Soekarno dengan Kyai Wuryanegara,” kata Rani langsung.
Dimas menyipitkan mata. “Itu bukan informasi umum.”
“Makanya kami datang ke cucunya pengawal pribadi beliau,” sahut Arda.
Dimas terdiam, lalu berdiri dan menuju lemari kayu. Ia menarik satu kotak tua dari rak atas. “Ini tak pernah aku buka di depan siapa pun. Tapi aku rasa… kalian bisa dipercaya.”
Di dalam kotak itu terdapat foto-foto, surat tulisan tangan, dan potongan surat kabar lawas. Tapi yang paling mengejutkan adalah satu catatan pribadi Kolonel Hanafiah:
“Beliau memegang tongkat itu dengan kedua tangan. Bung Karno bersimpuh, tak berkata-kata. Lalu Kyai berkata: ‘Dengan ini, semoga tanah ini tetap bersatu, selama tongkat ini tetap tersembunyi dan tidak digunakan untuk keangkuhan.’”*
Arda membaca ulang kalimat itu pelan. “…‘selama tongkat ini tetap tersembunyi’…”
“Jadi Bung Karno menyembunyikannya?” tanya Rani.
Dimas mengangguk. “Setelah tragedi 1965, Soekarno mulai merasa dikepung. Ia tak percaya siapa pun. Termasuk para jenderalnya. Ia sempat berkata kepada Kakekku… bahwa ‘tongkat itu tak boleh jatuh ke tangan tentara, atau tangan asing’.”
“Lalu ke mana disimpannya?” Arda mendesak.
Dimas tersenyum samar. “Itulah misterinya. Tapi ada petunjuk…”
Ia memberikan sebuah sketsa tua. Gambar itu menunjukkan sebuah ruangan rahasia di bawah **Istana Merdeka**, lengkap dengan simbol cakra di dinding dan lorong sempit menuju bawah tanah.
**Pertemuan di Lorong Kekuasaan**
Malam itu, dengan bantuan seseorang dari dalam istana—mantan ajudan presiden yang hanya mau dipanggil *Pak Darto*—Arda dan Rani berhasil masuk ke lorong bawah tanah yang nyaris tak tercatat di peta resmi.
Mereka menyusuri lorong lembap dengan dinding batu tua. Di ujung lorong, sebuah pintu besi berkarat berdiri tegak.
Pak Darto membuka pintu itu dengan kunci tua. “Saya hanya buka… tapi kalian yang masuk. Saya terlalu tua untuk ikut terlibat.”
Di balik pintu, hanya ada satu ruangan batu kecil. Kosong, kecuali satu rak besi yang sudah berdebu.
Tapi Arda merasakan sesuatu. Ia menyentuh dinding—dan menemukan pahatan samar: *CAKRA SUCI, JANGAN DIBANGUNKAN DALAM MARAH.*
Rani menyentuh bagian bawah rak. Tangannya menyentuh lubang tersembunyi—dan terdengar bunyi klik kecil.
Sebuah peti kayu kecil muncul dari lantai. Arda membukanya perlahan.
Di dalamnya, dibungkus kain batik tua, terbaring **tongkat berujung cakra emas**, masih bersinar redup meski sudah puluhan tahun tersembunyi.
“Ini dia…” bisik Rani. Suaranya gemetar.
Arda menatapnya lama. “Apa kita akan menyerahkannya… atau menyimpannya?”
Rani balas menatap, dalam dan tegang. “Kita belum tahu siapa yang sebenarnya menginginkannya. Tapi yang jelas… ada lebih dari satu pihak yang siap membunuh demi ini.”
========
Di luar, malam Jakarta merambat hening. Tapi jauh di sudut ruang rahasia istana itu, kekuatan lama telah dibangunkan.
Dan di tempat lain, seorang pria berkacamata tipis sedang menonton rekaman CCTV diam-diam.
Ia menatap layar, lalu menekan tombol di mejanya.
“Siapkan Tim Bayangan. Kita punya dua target baru. Nama mereka: **Arda Kusuma dan Rani Lesmana**.”
== Bersambung ==