Perburuan Cakra Pangeran Diponegoro (Episode 6)

EPISODE 6 : Simbol Tiga Salib
Angin musim semi membelai pelataran Museum Voor Historie, tempat di mana Arda dan Willem menyamar sebagai pengunjung malam itu. Di tangannya, Arda memegang fotokopi halaman tua dari jurnal Johannes Van Houten—sang leluhur Willem yang menyaksikan langsung pengasingan Diponegoro.

Halaman itu bergambar **tiga salib** bersilangan dalam lingkaran dengan tulisan Latin kuno: *“Pax Potentia Sub Terra”* — yang berarti *“Kedamaian Lewat Kekuatan Tersembunyi.”*

“Jadi ini yang kamu maksud?” tanya Arda sambil menatap gambar.

Willem mengangguk. “Ordo Salib Tiga. Kelompok rahasia Eropa Timur. Mereka bukan sekadar pemuja sejarah. Mereka pengatur bayangan. Dulu mereka berkecimpung dalam penggalian artefak spiritual saat Perang Dunia II—sama seperti Nazi dengan tombak Longinus.”

Arda membuang napas panjang. “Jadi sekarang bukan hanya politisi Indonesia dan kelompok spiritual fanatik, tapi juga organisasi okultis Eropa?”

“Tongkat Cakra terlalu kuat sebagai simbol. Semua yang tahu sejarahnya, akan tergoda menyentuhnya,” ujar Willem.

**Sebuah Petunjuk Baru**

Di antara catatan tua Van Houten, Arda menemukan fragmen surat pribadi dari Diponegoro kepada pengikutnya saat diasingkan di Makassar. Surat itu tidak hanya menyiratkan makna spiritual dari Cakra, tapi juga menyebut nama samaran:

“Apabila tanah ini sudah bukan tempat bagi cahaya, maka Cakra hendaklah dijaga oleh mereka yang **tahu kapan tidak menggunakannya.** Kepada Saudara di Utara, kupercayakan warisan ini.”

Saudara di Utara. Arda termenung.

Rani yang diam sedari tadi, mendekat. “Itu bukan utara secara geografis. Tapi politik.”

Willem menimpali, “Atau spiritual. Bisa jadi ‘Utara’ yang dimaksud adalah *valley of the white mountains*. Salah satu tempat yang dipakai kelompok Ordo Salib Tiga di Swiss. Mereka menyebutnya ‘Sanctum Alba’.”

**Operasi Rahasia ke Swiss**

Arda, Rani, dan Willem meninggalkan Belanda secara diam-diam. Mereka mengendarai mobil sewaan menuju Zurich, lalu naik kereta pegunungan menuju daerah pedalaman bernama **Rosenstadt**.

Dalam kabut tipis, mereka mencapai sebuah desa terpencil. Seorang biarawan tua bernama **Brother Kaspar** menyambut mereka.

“Kami sudah lama menunggu kedatangan penjaga tongkat,” katanya sambil menatap tongkat yang kini dibungkus kain beludru hitam.

Di bawah kapel kecil di pinggir hutan, tersembunyi lorong menuju gua tua yang dipenuhi lukisan dinding tentang perang, kematian, dan penyerahan kekuasaan.

**Penyusup di Tengah Ibadah**

Malam itu, saat Rani berdiri termenung di altar batu, seseorang membisikkan nama Arda dari balik kegelapan.

Sebuah suara berat dan asing: “Penjaga palsu tidak akan menyelamatkan dunia. Mereka hanya menunda keruntuhannya.”

Tiba-tiba, dua sosok berjubah hitam dengan simbol salib tiga menyergap Willem di lorong luar. Perkelahian singkat terjadi, tapi mereka tidak berhasil membawa tongkat. Namun satu hal jadi jelas:

**Ordo Salib Tiga tahu mereka di sini.**

**Sebuah Pilihan Berat**

Di gua tua, Brother Kaspar memberi Arda sebuah kotak besi antik dan berkata:

“Di dalamnya adalah kontrak yang ditandatangani oleh para penjaga Cakra sejak era pasca-Diponegoro. Kamu sekarang bagian dari rantai itu, Arda.”

Tapi Arda ragu. Ia memandangi tongkat yang seolah hidup di tangannya.

“Lalu, bagaimana jika aku hancurkan saja tongkat ini?”

Kaspar menjawab pelan. “Kamu bisa menghancurkan benda, tapi tidak makna. Cakra adalah narasi. Dan narasi bisa lebih berbahaya dari senjata.”

Rani mendekat, menatap mata Arda. “Kalau begitu… kita tulis narasi yang baru.”

==========

Dalam cahaya lilin di dalam gua pegunungan Swiss, Arda mengetik pesan terenkripsi lewat tablet Willem:

**“Tongkat telah diamankan di lokasi netral. Jangan cari. Jika kau mencari… kau berarti menginginkan kuasa, bukan kebenaran.”**

Sementara itu, di Jakarta, seorang jenderal tua menerima laporan dari informannya di Belanda.

“Dia bawa tongkat ke Swiss, Pak. Tapi dia tak sendirian.”

Sang jenderal memutar kursinya perlahan, menatap foto lama dari tahun 1965—seorang lelaki muda berdiri di belakang Bung Karno, memegang sesuatu di balik jubah militer.

“Bung Karno pernah bilang… ‘jangan mainkan kekuatan leluhur kalau kau tak sanggup menanggung konsekuensinya.’ Sekarang… aku akan lihat apakah anak muda itu benar-benar siap.”

===========

=== BERSAMBUNG ===

Ocehanburung

Seorang yang sangat memperdulikan keutuhan dan harga diri bangsanya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *