Episode 5 : Bayangan Di negeri asing
Bandara Schiphol, Amsterdam.
Angin dingin musim semi menyambut langkah Arda dan Rani saat mereka keluar dari terminal internasional. Setelah insiden di Candi Cetho, Arda memutuskan hanya satu hal yang masuk akal: Tongkat Cakra harus disembunyikan jauh dari jangkauan mereka yang menginginkannya—dan satu-satunya orang yang ia percaya adalah **Dr. Willem Van Houten**, seorang arkeolog Belanda spesialis sejarah kolonial Nusantara.
Willem bukan orang asing bagi Arda. Mereka bertemu saat Arda membantu mengamankan pusaka Batak di Sumatra Utara. Sejak itu, mereka bersahabat dan saling menghormati. Willem juga satu dari sedikit akademisi Belanda yang bersuara lantang soal dosa sejarah kolonial negaranya.
**Museum Rahasia di Utrecht**
Keesokan harinya mereka tiba di sebuah rumah tua bergaya abad ke-19 di pinggiran Utrecht. Di bawah rumah itu tersembunyi sebuah ruang arsip pribadi yang lebih mirip museum rahasia ketimbang gudang akademisi.
Willem menyambut Arda dengan pelukan hangat. “Arda, akhirnya kamu datang juga. Dan ini tentu Rani… senang sekali bertemu langsung.”
Rani tersenyum, “Terima kasih sudah membantu kami.”
Setelah mereka turun ke ruang bawah tanah, Willem memutar rak buku ke samping dan membuka ruang rahasia tempat lemari kaca disiapkan untuk menyimpan **Tongkat Cakra**.
“Leluhurku, Johannes Van Houten, adalah pengawal pribadi Gubernur Jenderal saat Diponegoro ditangkap. Tapi dia… berbeda. Ia menuliskan dalam jurnalnya bahwa Diponegoro adalah seorang suci, bukan pemberontak,” kata Willem sambil menatap tongkat itu dengan rasa hormat.
Arda meletakkan tongkat di tempat yang disediakan.
“Untuk sementara, tongkat ini aman di sini,” ujar Arda. “Tapi cepat atau lambat… mereka akan tahu.”
**Konflik Dimulai**
Beberapa hari kemudian, berita mulai menyebar. Media Indonesia dihebohkan oleh laporan bahwa pusaka peninggalan Diponegoro diselundupkan keluar negeri. Narasi patriotik meluas, digoreng oleh beberapa politisi ambisius.
**“Tindakan ini adalah penghinaan terhadap martabat nasional,”** ujar seorang anggota DPR dalam wawancara TV. **“Kami akan menuntut pemulangan segera Tongkat Cakra ke tanah air!”**
Sementara itu, di Belanda, seorang jurnalis investigasi bernama **Marijke De Vries** mulai mengendus sesuatu. Ia menulis dalam blognya:
“Ada artefak Jawa misterius yang kini disimpan oleh seorang arkeolog Utrecht. Ini bukan hanya peninggalan sejarah… ini simbol kekuasaan.”
**Pengejar Bayangan**
Malam itu, Willem yang tinggal sendiri dikejutkan oleh suara kaca pecah. Tiga pria berpakaian serba hitam masuk dari jendela belakang. Mereka tak bicara. Tak minta uang. Mereka langsung menuju ruang bawah tanah.
Tapi Willem sudah bersiap. Ia menyalakan sistem alarm, dan dalam kekacauan, berhasil mengaktifkan sistem penguncian otomatis. Para penyusup kabur—tapi satu hal jelas:
**Tongkat Cakra kini diburu bukan hanya di Indonesia… tapi juga di Eropa.**
Arda datang esok harinya dan melihat kaca pecah, jejak sepatu, dan bayangan teror yang mulai menebar ke luar negeri.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Rani pelan di dapur saat mereka duduk menyesap kopi pahit khas Belanda.
Arda menatap jendela. “Ini bukan lagi tentang sejarah. Ini tentang simbol. Tentang ilusi kekuasaan yang bisa dikendalikan oleh siapa pun yang cukup gila untuk percaya padanya.”
**Cinta di Tengah Ancaman**
Malam itu, di loteng rumah Willem, saat badai kecil mengguncang atap, Rani mendekat ke Arda. Matanya gelisah, penuh ketegangan yang belum sempat dikeluarkan.
“Kalau sesuatu terjadi padamu, Arda… aku akan hancur.”
Arda menarik napas dalam, menyentuh pipi Rani perlahan. “Kamu kuat, Rani. Bahkan lebih kuat dariku.”
Rani mencium Arda perlahan, tak ada kata-kata, hanya keheningan yang menggantung di antara desir angin dan ketakutan. Di tengah pelukan mereka malam itu, bukan gairah yang memuncak… tapi pengakuan diam bahwa cinta mereka tumbuh dari luka, dari pelarian, dari rasa saling menjaga yang tak sempat direncanakan.
**Diplomasi atau Perang**
Pagi berikutnya, Willem mendapat panggilan dari **Duta Besar Indonesia untuk Belanda.**
Nada suara di telepon itu tajam.
“Kami mendapat informasi ada artefak milik bangsa kami yang Anda sembunyikan. Kami berharap Anda bekerjasama… atau kami akan membawa ini ke jalur diplomatik.”
Willem terdiam. Setelah menutup telepon, ia memandangi Arda.
“Negaramu menekanku. Negaraku… bisa jadi ikut campur. Kita berada di tengah bara api politik internasional.”
Arda menyadari: menyimpan Tongkat Cakra berarti membuka potensi konflik antarnegara. Tapi membawanya kembali ke Indonesia? Itu berarti memberikannya kembali ke medan permainan kekuasaan para elite bayangan.
“Kalau begitu… kita harus cari jalan ketiga.”
=========
Arda, Rani, dan Willem duduk di ruang kerja sempit dengan peta dunia terbuka di atas meja.
“Kita harus hilangkan tongkat itu dari radar siapa pun,” ujar Arda. “Tapi tetap bisa kita pantau. Kita harus mencari tempat netral… negara kecil, tapi punya museum sejarah netral. Mungkin Swiss. Atau Islandia.”
Willem mengangguk. “Dan selama itu… kita harus tahu siapa yang ada di balik semua ini. Karena yang memburu tongkat ini… tidak hanya dari Indonesia. Aku mendapat email terenkripsi. Ada simbol… yang sama seperti di jurnal kakek buyutku. Simbol itu juga dipakai oleh kelompok rahasia Eropa Timur.”
Arda mengangkat alis. “Apa namanya?”
Willem menjawab pelan.
**“Ordo Salib Tiga.”**
==========
=== BERSAMBUNG ===