Episode 4 : Tirani dan Darah
**Solo, pukul 01.47 dini hari**
Udara di kamar penginapan tua itu tipis dan dingin. Arda bangun karena mimpi buruk—ia melihat sosok lelaki tua berkumis tebal, bersurban putih, berdiri di altar batu dan mengangkat Tongkat Cakra tinggi-tinggi. Di belakangnya, ratusan orang bersujud, menyebut nama yang sama berulang kali:
“Raja Baru… Raja Baru…”*
Suara itu membubung, lalu berubah menjadi jeritan.
Arda bangkit, berkeringat. Rani masih terlelap di sebelahnya, mengenakan kemeja Arda yang kebesaran, selimut setengah melorot menampakkan bahunya yang mulus. Bahkan dalam kekacauan seperti ini, ia tetap memesona.
Namun malam itu tak memberinya waktu untuk menikmati kedamaian. Ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari kontak anonim:
**”RAHADYAN TELAH DIAMBIL. KELUAR SEKARANG. MEREKA MENUJU KAMU.”**
Tanpa pikir panjang, Arda mengguncang tubuh Rani. “Bangun. Cepat. Kita harus keluar.”
**Operasi Gelap dari Elit Jakarta**
Beberapa jam kemudian, mereka berlindung di rumah seorang dosen sejarah senior, Prof. Adimas, sahabat lama ayah Arda. Di ruang kerja berbau kopi dan kertas tua, mereka mendengar kabar mengejutkan:
“Rahadyan diculik oleh kelompok yang dikenal sebagai **Tangan Keempat**,” ujar Prof. Adimas. “Bukan TNI. Bukan BIN. Ini jauh lebih gelap. Mereka berisi gabungan militer bayangan, konglomerat tua, dan sisa-sisa kekuatan politik dari zaman Orde Lama yang tak pernah mati.”
“Dan apa tujuan mereka?” tanya Rani.
“Menjadikan tongkat itu alat legitimasi. Mereka punya seorang *‘Putra Jawa Asli’* yang akan mereka jadikan Raja simbolik. Ia akan menguasai perhatian publik lewat media, lalu menekan pemerintah lewat tekanan spiritual dan konflik horizontal. Kalau berhasil… Indonesia akan kembali ke zaman dualisme kekuasaan: negara resmi… dan negara bayangan.”
Arda terdiam. “Dan siapa ‘Putra Jawa Asli’ itu?”
Adimas menghela napas. “Namanya: **Dananjaya Diponegoro**. Cucu jauh dari garis Pangeran Diponegoro. Tapi… ia tidak seperti Rahadyan. Ia tumbuh dalam didikan militer radikal dan doktrin Jawa kuno ekstrem. Ia percaya bahwa rakyat harus dikontrol lewat rasa takut dan mitos.”
**Konflik Buka Terang**
Malam harinya, Arda dan Rani dihubungi secara diam-diam oleh **Mayjen (Purn.) Hasyim Darus**, tokoh nasionalis senior yang dulu dekat dengan Soekarno. Mereka bertemu di sebuah rumah kolonial tua di daerah Kotabaru, Jogja.
“Rahadyan masih hidup,” kata Hasyim dengan nada serius. “Tapi mereka akan mengorbankannya dalam sebuah upacara pemindahan ‘kekuatan’ jika kita tidak bertindak. Upacara itu akan diadakan di **Candi Cetho**, malam bulan purnama lusa.”
“Dan apa hubungan Anda dengan ini semua?” tanya Arda curiga.
Hasyim menatap Arda dalam-dalam. “Aku adalah salah satu dari tiga orang yang menyaksikan Bung Karno menyembunyikan tongkat itu. Kami bersumpah bahwa siapa pun yang menemukannya harus menempuh uji jiwa, bukan politik.”
Rani menggenggam tangan Arda. “Mereka ingin menjadikan tongkat itu alat kediktatoran baru. Kita harus hentikan mereka.”
**Candi Cetho: Ritual dan Perlawanan**
Malam bulan purnama. Kabut menyelimuti lereng Lawu. Di pelataran Candi Cetho yang diterangi api obor, puluhan pria berjubah hitam berdiri membentuk lingkaran.
Di tengahnya, **Dananjaya Diponegoro** berdiri angkuh, mengenakan surban emas dan kalung dari tulang kerbau. Tongkat Cakra palsu—yang telah dicampur dengan pusaka keraton tua—digenggam erat olehnya.
Rahadyan, terikat di tiang batu, tampak lemah namun masih sadar.
Dananjaya berbicara keras:
“Malam ini, kekuatan leluhur akan pindah padaku. Tidak lagi pemerintahan palsu yang menjual tanah air! Aku adalah Raja Baru Tanah Jawa!”
Saat upacara hendak dimulai, **tembakan** terdengar.
**Brak!**
Pasukan kecil dari jaringan bawah tanah Hasyim Darus menyerbu. Tapi mereka tidak sendirian.
Dari sisi kanan candi, puluhan pria bersorban putih dengan ikat kepala merah muncul dari hutan—**kelompok spiritual garis keras** bernama *Wahyu Jagat* yang bersumpah setia pada Dananjaya.
“Arda! Sekarang!” teriak Rani, sambil melemparkan tongkat asli ke arah Arda.
Arda menangkapnya—dan saat itu pula cahaya biru lembut menyelimuti tubuhnya. Semua orang berhenti.
“Darah Harjo Sentiko…” bisik salah satu tetua kelompok Wahyu Jagat.
Dananjaya geram. “Dia hanya detektif! Bukan darah utama!”
Tapi salah satu tetua lain justru berlutut pada Arda. “Ia membawa cahaya. Bukan kemarahan. Leluhur telah memilihnya.”
========
Pertempuran besar tak dapat dihindarkan. Tapi satu demi satu, pasukan Dananjaya mundur, melihat bahwa energi dari tongkat tak memihak mereka. Ritual gagal. Dananjaya melarikan diri ke arah hutan, diikuti oleh pengawalnya.
Rahadyan selamat. Rani memeluk Arda erat di bawah cahaya rembulan.
“Sekarang kamu bukan hanya detektif,” bisik Rani.
Arda menatap tongkat di tangannya. “Aku tak ingin kekuasaan… aku hanya ingin memastikan, tongkat ini tak digunakan untuk kejahatan.”
Rani tersenyum lembut. “Mungkin itu alasan kenapa kamu dipilih.”
Dan saat kabut Lawu mulai menipis, suara lembut Rahadyan terdengar dari belakang:
“Perjalanan kalian belum selesai. Karena kekuasaan yang telah bangkit… akan selalu dicari oleh mereka yang haus darah.”
========
=== BERRSAMBUNG ===