EPISODE 1 : CAKRA SANG PANGERAN
Arda menyusuri barusan buku di perpustakaan itu. Dia mengambil buku lusuh yang cukup tebal itu, buku yang berjudul *”JALAN HIDUP PANGERAN DIPONEGORO”*. Dia membawa buku itu ke meja, dan dia mulai membacanya.
Halaman demi halaman berdebu itu berdesir di tangannya, meninggalkan aroma tua dan nostalgia sejarah yang pernah hidup. Di sela-sela teks biografi, sebuah catatan tangan muncul—bukan bagian dari cetakan. Hurufnya halus, agak miring ke kanan, seperti ditulis oleh seseorang yang terburu-buru tapi penuh percaya diri.
“Tongkat Cakra bukan sekadar lambang, tapi kunci. Kunci kekuasaan dan pusaka sejati Jawa. Diserahkan secara rahasia sebelum pengasingan sang Pangeran. Belanda tak pernah tahu nilai sejatinya. Tapi ada yang tahu… dan memburunya hingga hari ini.”
Alis Arda terangkat. Sebagai detektif swasta yang biasa menyelidiki perselingkuhan dan kasus-kasus kecil beraroma tipu daya, ini jelas bukan hal biasa.
“Tongkat Cakra…” gumamnya. “Jadi bukan cuma mitos?”
Ia menyandarkan punggung ke kursi kayu tua, melirik ke arah jendela perpustakaan tua di Kota Lama, Yogyakarta. Angin sore meniup tirai, membawa masuk aroma kopi dari warung seberang.
Arda mengeluarkan catatan kecil dari sakunya. Dengan cepat ia menulis
“Lokasi terakhir: benteng Vredeburg. Cari data pengasingan Diponegoro 1830. Fokus: pengawalan, interaksi terakhir, benda pribadi.”
**Asal-Usul Tongkat Cakra**
Dalam buku itu diceritakan, sebelum Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 di Magelang, beliau telah lama memegang sebuah tongkat berujung cakra—bentuk seperti roda berduri tajam, melambangkan kekuasaan dan perlindungan. Tongkat itu dipercaya bukan buatan biasa. Diyakini dibuat oleh empu keraton dengan campuran logam kuno, dan konon ditanamkan “isi” oleh spiritualis keraton.
Tongkat ini bukan senjata. Tapi ketika Diponegoro memegangnya, pasukannya tak gentar. Ia menunjuk ke arah musuh, dan seolah-olah bumi sendiri ikut mendukung langkahnya. Rakyat menyebutnya “Cakra Pangeran”.
Tapi yang menarik adalah kisah hilangnya tongkat itu.
Menurut catatan rahasia dalam lampiran buku tersebut, Diponegoro tidak membawa tongkat itu saat diasingkan. Bahkan saat difoto oleh Belanda di pengasingan Makassar, tongkat itu tak tampak. Artinya, ia disembunyikan… atau dititipkan.
Dan di sinilah jejak sejarah menjadi kabur.
Seorang prajurit pengawal bernama Tumenggung Harjo Sentiko, yang ikut mengantar Diponegoro ke Magelang untuk “perundingan damai”, diyakini menerima tongkat itu malam sebelum penangkapan. Tapi tak lama setelah peristiwa itu, Harjo Sentiko menghilang tanpa jejak.
**Kembali ke Arda**
Arda memejamkan mata sejenak. Ia mencoba menyusun puzzle di kepalanya. Harjo Sentiko—nama yang nyaris hilang dari sejarah. Lalu Belanda—bagaimana bisa tongkat itu berada di tangan mereka?
Ia membuka lembar terakhir buku, menemukan daftar pustaka dan sebuah nama yang menarik perhatian:
“Kolonel Derk van de Witte – Laporan pribadi tentang pengawalan Diponegoro, 1830”
“Derk van de Witte… siapa kau?” gumam Arda.
Ia membuka laptop tipisnya, mulai menelusuri arsip digital Belanda yang terbuka untuk umum. Beberapa menit berselang, dia menemukan satu entri:
“Verslag van de gevangenneming van Diponegoro, maart 1830 – D. van de Witte”
Ada lampiran berupa peta kecil, dan sebuah kutipan mengejutkan:
“Een stok met een vreemde gouden top werd aan mij overhandigd door een Javaanse edelman. Ze zeiden dat het slechts een wandelstok was van de prins.”
(Diterjemahkan: “Sebuah tongkat dengan ujung emas aneh diberikan kepadaku oleh bangsawan Jawa. Mereka bilang itu hanya tongkat jalan sang pangeran.”)
Arda menahan napas. Itu dia.
Tongkat itu—diserahkan oleh seseorang. Kemungkinan besar Harjo Sentiko. Dan Belanda menganggapnya hanya tongkat biasa.
Tapi mengapa harus diserahkan? Mengapa tidak disembunyikan? Kecuali…
“Kalau kau tahu Belanda tidak akan memahaminya, lebih aman diberikan ke musuhmu yang tidak tahu nilainya… daripada ke tangan yang serakah dari bangsamu sendiri,” bisik Arda pada dirinya sendiri.
**Suara Hak Sepatu & Aroma Parfum Mahal**
Pintu kayu perpustakaan terbuka pelan. Hak sepatu terdengar menghentak pelan-pelan. Seorang wanita melangkah masuk, mengenakan blus satin warna merah darah dan celana bahan ketat. Bibirnya merah menyala, dan rambutnya disanggul rapi. Arda mengenalnya—**Rani Lesmana**, sejarawan misterius yang sudah dua kali muncul di kasus-kasusnya sebelumnya. Dan keduanya selalu berakhir dengan bahaya… dan ciuman berbahaya.
“Arda,” suaranya dalam dan lembut, “kau sedang menggali masa lalu yang tidak seharusnya kau sentuh.”
Arda tersenyum miring. “Aku justru menyentuhnya karena semua orang menghindarinya, Ran. Kau tahu aku suka yang ‘terlarang’.”
Rani tertawa pelan. Tangannya memainkan cincin di jari manisnya. “Tongkat Cakra itu… lebih dari sekadar pusaka. Itu kunci.”
“Sudah kudengar,” balas Arda sambil berdiri. “Dan aku tahu kau tahu lebih dari yang kau ucapkan.”
Dia mendekat. Hanya beberapa jengkal antara wajah mereka.
“Kalau begitu, kamu siap untuk ikut dalam permainan yang lebih besar, Kusuma?” bisik Rani. “Karena kamu baru saja membuka pintu menuju perburuan yang tak pernah mati.”
—
Langit di atas Yogyakarta mulai menggelap. Arda melirik ke luar jendela. Angin membawa bau hujan pertama malam itu.
Dan entah mengapa, di dadanya, dia bisa merasakan sesuatu:
Perburuan ini bukan hanya tentang sejarah.
Ini tentang kekuasaan, pengkhianatan… dan mungkin, cinta lama yang belum selesai.
“Tongkat itu akan ditemukan…” bisiknya. “Dan seseorang akan membunuh untuk itu.”
===Bersambung===