Mungkin Lehernya layak diberi tali.
Belum selesai soal PKI, belum kering masalah pemimpin non Muslim, dan tidak pernah bosannya kita membicarakan sholat tarawih kilat di salah satu kota di Negara yang katanya tercinta ini.
Ditengah berisiknya perdebatan itu, dan ditengah banyaknya oknum yang coba mengusik ketenangan bathin, dan riuhnya berbagai opini yang dengan otot lehernya hingga tegang untuk mempertahankan bahwa opini merekalah yang paling benar, dan senangnya kita memperdebatkan suatu aturan yang sebenarnya sudah tidak perlu di perdebatkan lagi.
Muncullah satu isu lagi yang sebetulnya tidak begitu seksi tapi karena moment yang tepat dan saat yang pas, maka seorang pedagang Warteg yang dipaksa untuk tutup agar tidak berjualan di siang hari ketika bulan Ramadhan, menjadi sebuah bola salju yang sangat mampu menarik salju lain sehingga begitu cepatnya menjadi besar bahkan menjadi isu nasional, karena tidak hanya rakyatnya yang memang suka sekali dengan isu SARA model ini, tapi Juga si pemimpin negeri sampai “ikut-ikutan” dan bisa dibilang tidak bersikap netral dalam hal ini dan makin membuat heboh keadaan.
Kembali ke soal ibu warteg tersebut. Apa yang ibu Warteg itu lakukan sebetulnya sudah sangat biasa terjadi dijakarta. Tukang Bubur ayam di depan kuncit yang saya biasa langganan sarapan kalo tidak Ramadhan juga tetap berjualan. Malah tidak jarang dia becanda dengan saya kalau saya lewat depan gerobaknya. “masih puasa pak??”. Dan saya jawab. “Engga… sarapan dikantor aja lebih kenyang…”. Dan sayapun biasa saja. Karenaaaa….
Saya coba memahami kebudayaan, kebiasaan dan aturan dari tiap-tiap daerah. Saya tidak lantas main pukul rata untuk menyamakan Serang dengan Jakarta, Papua dengan Jakarta, atau Bali dengan Jakarta. Tiap daerah punya aturan dan kebudayaannya sendiri yang harus kita taati. Dan saya yakin aturan yang dibuat oleh pemimpin daerah disana tidak ada niat sama sekali untuk mempersulit penduduknya, ini tidak lain hanya karena mereka ingin tetap memliki ciri khas untuk daerah mereka masing-masing, dan kebetulan yang mereka pilih untuk ciri khas mereka adalah budaya yang berkaitan dengan agama mayoritas yang mereka anut. Contohnya Serang dengan budaya tutup Toko ketika Ramadhannya, dan purwakarta yang lebih memilih budaya leluhur Hindu untuk ciri khas kotanya. Mereka semua sama. Dan itu tergantung pada kesepakatan warga masing-masing didaerahnya. Tidak ada yang salah selama tidak ada niat jahat untuk warga masing-masing. Saya yakin itu. Tapiiiiii….
Jika ada gesekan ketika aturan ini muncul, ya itu wajarlah… dan pasti akan terjadi, tapi yakinlah bahwa niat baik dalam membuat aturan yang baik akan tetap bisa kuat, karena sebuah aturan muncul pasti sudah berdasarkan suara rakyat yang mendukungnya. Tidak hanya serang dengan kasus warteg siang harinya, Purwakartapun sampai saat ini masih terus dikritik soal terlalu banyaknya patung dan ada indikasi penghilangan identitas agama tertentu di kota tersebut. Naaaahhhh…
Oleh sebab itu, kita sebagai orang luar, yang cuma lihat dan tau lewat televisi atau media online, jangan terlalu cepat mengambil keputusan dan terlalu cepat menyamakan semua daerah dengan Jakarta yang memang sudah menjadi kota metropolitan dan sudah sangat majemuk ini. Jangan jadikan Jakarta sebagai Role model Pola Pikir anda. Jika anda menggunakan Jakarta sebagai patokan pola pikir anda dan tindakan anda, tidak ada kata lain bahwa anda akan Rusak. Atau mungkin memang pola fikir anda sudah rusak ?? Allahualam…
Hebohnya, Netizen yang kebanyakan bukan warga serang yang sok tau soal kasus “warteg siang bolong” mengingatkan saya pada kalimat salah satu kawan saya ketika saya ikut heboh soal Pilkada Jakarta 2017 nanti padahal saya orang bogor.
Dia bilang :
“Gue mah kris, ga mau ikut komentar soal pilkada Jakarta, itumah urusan orang Jakarta, karena gue khan bukan orang Jakarta…”
Saya senyum. Dan sampai saat ini saya masih pegang apa yang dia bilang.
Dalam hati saya bicara.
“Manusia itu yang dipegang omongannya, kalo binatang talinya. Kalo omongannya sudah tidak bisa dipegang, mungkin lehernya layak dikasih tali…”
Karena jika dia berprinsip demikian, maka seharusnya untuk semua persoalan yang bukan wilayahnya untuk menilai, seharusnya tidak ikut campur karena hanya akan memperkeruh suasana, berpotensi menjadi provokator dan akhirnya heboh ga karuan dan bisa memperburuk keyakinannya.
Terus bagaimana dengan saya sendiri??
Kalau saya jelas, sejak awal sudah istiqomah bahwa Indonesia harus punya warna sendiri, tidak ada yang boleh menyamaratakan Indonesia harus seperti Jakarta yang memang sudah tidak ada ciri khasnya karena pengaruh ajaran Liberal yang merajalela. Budaya ditiap daerah harus tetap dipertahankan dengan tidak bertentangan dengan Ketuhanan yang Maha Esa.
Kita saling menghormati, namun lain halnya jika penghormatan itu untuk sesuatu yang jelas-jelas tidak mencerminkan penghormatan kepada orang lain.
Salam ocehanburung.