Tentang Celana Cingkrang dan Cadar

Celana Cingkrang dan Cadar

 

Apa yang kakak saya tuliskan di status social medianya ada benarnya, bahwa sebagian dari kita memilih celana cingkrang dikarenakan untuk lebih meminimalisasi kemungkinan terkenanya najis yang begitu banyak disekitar kita, agar kita bisa lebih khusyuk dalam beribadah nantinya.

Hal diatas adalah alasan yang sangat logis selain alasan yang tidak bisa kita bantah yaitu bahwa bercelaan cingkrang bukan hanya dianjurkan pada level Hadis, amun juga pada level Ayat dalam Al Quran. (saya tidak usah sebutkan ayatnya, namun saya ingat, saya pernah membacanya).

Tapi, saya termasuk yang belum bercelana cingkrang, saya hanya “men-cingkrang-kan” celana saya ketika saya akan mengambil wudhu saat akan sholat 5 waktu, untuk tujuan agar ujung celana saya tidak terkena air terlalu banyak dan juga bahwa Membersihkan kaki ketika wudhu adalah sebatas mata kaki, dan itu juga alasan mengapa saya mengangkat celana saya menjadi cingkrang.

Jadi soal cingkrang, menurut saya tidak usah diperdebatkan lagi, karena itu sudah jelas tujuan dan maksudnya, dan tidak usah diperdebatkan. Case Closed. Saya mendukung celana cingkrang selama dalam konteks yang diatas.

Lalu bagaimana dengan penggunaan Cadar??

Sedikit mundur kebelakang kemasa kepemimpinan Soeharto, oh iya, terus terang, walau kepemimpinan Soeharto begitu banyaknya hal yang menurut kita tidak adil namun diluar itu semua, saya termasuk yang mengagumi sosok Soeharto, (walaupun, saya termasuk juga salah satu Mahasiswa yang ikut beberapa hari berdemo untuk menurunkan beliau).

Pada masa kepemimpinan Soeharto, penggunaan Cadar pernah dilarang, jika tidak salah dulu pernah dilarang karena ada salah satu kelompok yang menamakan diri mereka Darul Arqam secara massal menggunakan Cadar dan berpakaian hitam untuk wanita kelompok mereka. Dan ini mengundang reaksi pemerintah dan langsung membuat aturan bahwa menggunakan cadar adalah terlarang.

Saat itu, entah mengapa tidak ada gelombang yang cukup besar menentang kebijakan pemerintah ini, tentu saja sebagian orang mengatakan karena pada saat tersebut kepemimpinan Soeharto sangat kuat dan tidak sembarang orang bisa dengan bebas mengeluarkan pendapatnya. Jadi kita lebih baik memilih diam dan hanya kasak kusuk di warung kopi saja.

Namun, entah mengapa, saat itu, Ayah saya yang lalu mempengaruhi penilaian saya, setuju dengan pelarangan cadar dan bernaju hitam bagi kelompok Darul Arqam tersebut. Alasannya simple saja, karena kita jadi merasa tidak menyatu dalam bersosialiasi, saat itu, melihat mereka menggunakan Cadar dan pakaian hitam secara seragam, menjadi begitu tidak nyaman untuk kita. Karena kami tidak bisa mengetahui raut wajah yang memang bisa sangat memepengaruhi penilaian kita terhadap seseorang.

Wajah adalah alat komunikasi yang cukup vital dalam bersosialiasi. Tersenyum, cemberut, sedih, marah dan hal lain bisa langsung diketahui dengan hanya memandang wajah seseorang. Dan Cadar sedikit banyak menghilangkan itu semua, kita jadi cukup dibuat bingung dengan apa yang lawan bicara kita rasakan atas kehadiran atau bicara kita kepada mereka. Kita jadi kurang informasi untuk bisa bertindak lebih lanjut pada lawan bicara kita.

Hal diataslah lah yng membuat saya cenderung lebih memilih agar kita cukup menggunakan Kerudung saja, tanpa harus menambahnya dengan Cadar, karena lebih kepada Budaya Komunikasi Bangsa ini yang memandang begitu pentingnya mengetahui reaksi seseorang atas sikap kita, bangsa kita memiliki budaya yang begitu berperasaannya untuk menghargai bagaimana reaksi lawan bicara terhadap sikap kita.

Karena hal diataslah saya beranggapan bahwa alangkah lebih baik jika kita hanya berkerudung dengan baik saja daripada menggunakan Cadar. Alasan saya sama sekali bukan karena menggunakan Cadar mirip dengan sesuatu yang buruk dan negative. SAMA SEKALI BUKAN.

Terkait dengan dilarangnya/dihimbaunya kembali bercadar saat ini oleh menteri agama yang baru, saya mengira bukan karena Pelarangan/himbauannya, namun lebih kepada cara penyampaian dari larangan tersebut. Cara yang tidak santun, cenderung mendeskriditkan, seperti menuduh, menyamakan dengan sesuatu yang buruk, dan style yang begitu arogan, adalah hal menurut saya memicu reaksi negative bagi umat yang begitu cintanya pada agama yang mereka anut. Bukan hanya mereka yang bercadar yang agak terusik dengan sikap penyampaian yang tidak begitu halus dan baik, bahkan sayapun kurang begitu sreg dengan mimic dari yang bicara tentang himabauan keberatan jika menggunakan cadar.

“Hal yang baik berawal dari cara yang baik…”

Apalagi sudah ada contoh nyata dari hal tersebut, bahwa bicara yang tidak santun dan urakan, bisa begitu mencelakakan dan berakibat negative. Mari kita belajar dari hal tersebut.

Singkat kata, Penggunaan cadar tidak bisa dipungkiri adalah hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinannya atas agama yang mereka anut, dan saling menghormati dan menghargai antar sesama keluarga sebangsa dan setanah air adalah hal yang tidak bisa kita pungkiri juga.

Mari kita saling menghargai dan menghormati, juga mari hindari perbedaan dan utamakan persatuan untuk kelangsungan dan besarnya bangsa ini.

Jika memang sudah siap dengan segala keterbatasan yang akan didapatkan dalam menggunakan Cadar, maka itu adalah hak warga negara yang tidak bisa kita larang-larang dan wajib kita hargai.

 

Salam Ocehanburung.

Ocehanburung

Seorang yang sangat memperdulikan keutuhan dan harga diri bangsanya...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *